Dari KBI ke MBI


Sebelum munculnya wadah-wadah internasional yang baru, dapat dikatakan kita hanya mengenal 2 (dua) wadah buddhis skala dunia, yaitu WFB dan WBSC. World Fellowship of Buddhists (WFB) yang didirikan tahun 1950 merupakan wadah yang keanggotaannya baik biksu/biksuni maupun upasaka/upasika. Sedangkan World Buddhist Sangha Council (WBSC) yang didirikan tahun 1966 merupakan wadah khusus monastik, dengan keanggotaan baik organisasi (sangha) maupun individu (biksu/biksuni). Tampaknya secara fungsional, kehadiran kedua wadah ini sudah tepat dan realistis. Jadi pemilahannya bukan wadah biksu/biksuni dan wadah upasaka/upasika, tetapi wadah biksu/biksuni dan wadah gabungan biksu/biksuni + upasaka/upasika.

Di Indonesia sejarah mencatat Bhadanta Ashin Jinarakkhita juga bukan berada di luar PUUI (Persaudaraan Upasaka Upasika Indonesia), karena beliau justru pendirinya. Bukti PUUI–yang kemudian ditingkatkan statusnya menjadi MUABI (Majelis Upasaka-pandita Agama Buddha Indonesia)–merupakan satu kesatuan dengan biksu/biksuni sesungguhnya sangat nyata, karena ketua PUUI/MUABI (di semua jenjang) adalah pilihan Bhadanta Ashin Jinarakkhita. Tampaknya Bhadanta Ashin Jinarakkhita membutuhkan bantuan jaringan organisasi, namun tetap membuat semua jenjang juga menjadi pembantunya langsung. Hierarki organisasi awam menjadi tidak dominan.

Dengan berubahnya nama MUABI menjadi MBI (Majelis Buddhayana Indonesia), dan jumlah biksu/biksuni Sagin (Sangha Agung Indonesia) yang telah meningkat, sesungguhnya proses untuk menghadirkan MBI sebagai wadah gabungan biksu/biksuni + upasaka/upasika seperti WFB kini menjadi dimungkinkan. Terlebih dalam praktiknya Sagin dan MBI selalu butuh berkoordinasi dan keduanya memang saling melengkapi. Apalagi kini pembina-pengurus-pengawas dari yayasan-yayasan pendukung utama juga sudah ‘dirangkap’ oleh para anggota Sagin dan aktivis/mantan aktivis MBI. Artinya, sesungguhnya ada pilihan untuk membentuk wadah yang lebih solid daripada KBI, yaitu semua bersatu dalam MBI.

Jika benar-benar ingin lebih solid dan efisien dalam berkarya, tentunya bersatu dalam satu wadah lebih indah daripada memilah-milah menjadi organisasi-organisasi terpisah. Kesibukan untuk berkoordinasi lintas organisasi pasti cukup menyita waktu dan energi. Padahal realitanya biksu/biksuni dan upasaka/upasika memang perlu bersinergi, karena saling melengkapi. Di akar rumput, hasil nyata sinergi murni biksu/biksuni dan upasaka/upasika sudah terbukti. Kalau begitu, judul tulisan ini mungkin perlu dipertimbangkan. Seperti halnya di WFB, ketua MBI dapat dipegang oleh upasaka/upasika, dengan menempatkan biksu/biksuni sebagai ketua kehormatan.