Kekerasan dalam Organisasi


Agama Buddha terkenal sebagai agama yang paling damai. Mengajarkan tanpa kekerasan. Bukan hanya terhadap pihak lain, tetapi juga terhadap diri sendiri. Tanpa kekerasan bukan berarti malas berjuang. Petapa Gotama berhasil dalam perjuangannya manakala menghentikan kekerasan. Dalam organisasi perusahaan, atasan yang ‘malas’ biasanya akan rajin melakukan kekerasan terhadap bawahan.

Penderita kanker ada yang bersaksi bisa sembuh oleh karena menjalankan meditasi sadar-penuh. Tidak menyerah dalam kecemasan maupun tidak berupaya melakukan kekerasan terhadap kankernya, melainkan merangkulnya, menerima kehadirannya. Sama seperti ketika duduk bermeditasi, saat muncul rasa sakit di kaki, cukup amati, tanpa ingin mengakhiri. Tanpa upaya, rasa sakit itu nanti akan berhenti.

Dalam berorganisasi kita juga harus menghindari kekerasan. Tradisi kekerasan dalam sistem organisasi perusahaan mestinya tidak ditularkan ke organisasi sosial keagamaan. Apalagi jika didukung adanya fundamentalisme dalam beragama, yang merasa benar sendiri.

Agama mengutamakan kemajuan batin umat alih-alih kemajuan nama besar organisasi, maka sesungguhnya memang lebih tepat jika jaringan organisasinya berbentuk konfederasi daripada hierarki murni. Saling asih saling asah saling asuh. Semangat melayani sesama yang diterapkan, bukan semangat menguasai. Ketika terjadi pelanggaran, tidak perlu sanksi dari pihak ‘luar’, mesti diselesaikan di komunitas basisnya sendiri.

Dalam organisasi keagamaan yang menjunjung azas kesetaraan mestinya minim keributan yang disebabkan semangat berkuasa terhadap yang lain. Dengan kejelasan otoritas ada pada para tokoh agama (dan bukan tokoh organisasi), persoalan kepemimpinan sudah selesai. Tidak perlu lagi terjebak intrik-intrik politik untuk merayakan fantasi demokrasi. Bahkan di organisasi awam, upaya merapikan organisasi bisa diartikan berhak melakukan upaya-upaya bernuansa kekerasan, yaitu pemaksaan.