Melalui Therawada Menghidupkan Stupa Mandala Borobudur


Saat selesai purnapugar terakhir, Candi Borobudur sempat dinyatakan sebagai monumen-mati. Namun umat Buddha tetap boleh merayakan Waisak di sana setahun sekali. Rupanya jika ingin menjadi sumber pemasukan negara, objek wisata keagamaan tidak cukup jika hanya mengandalkan dalam bentuk monumen-mati. Perlahan tapi pasti, spiritualitas Borobudur ikut bangkit kembali.

Mereka yang senang melihat dari sisi perbedaan, tentu akan melihat bahwa Borobudur dan Therawada itu dua hal yang berbeda. Bahwa jubah yang dikenakan arca-arca Buddha di Borobudur itu model India (yang secara salah kaprah sering diklaim sebagai “jubah Therawada”), tentu lumayan memberi kedekatan. Namun semua arca Buddha di Borobudur tidak dikenal di Therawada. Maka tidak heran jika Therawadin-ekstrem, meski tidak anti dan benci, tidak punya hati terhadap Borobudur.

Membangun Agama Buddha Indonesia masa kini itu tidak semudah memindahtanamkan agama Buddha luar negeri ke bumi ini. Ada yang bertanya, bagaimana mungkin melalui Therawada kita menghidupkan Stupa Mandala Borobudur? Ternyata mungkin. Ashin Jinarakkhita sang pelopor telah memulai. Ia adalah jembatan antara Therawada dan Mahayana. Ia adalah biksu Therawada sekaligus biksu Mahayana. Bahkan ia adalah biksu Therawada pertama di bumi nusantara, mengingat di masa lalu bumi nusantara belum pernah menerima bentuk Therawada dengan bahasa Pali-nya. Di masa lalu yang berkembang di bumi nusantara adalah Sarwastiwada dengan bahasa Sanskrit-nya. Dilanjutkan Mahayana yang juga Sanskrit. Karenanya dharma, karma, dan nirwana lebih akrab di telinga orang Indonesia daripada dhamma, kamma, dan nibbana.

Jika Mahayana dengan upaya kausalya-nya adalah upaya pengembangan lebih luas, maka Sarwastiwada dan Therawada adalah aliran-aliran yang sama-sama lebih menjaga agama Buddha awal. Di mana sekarang Sarwastiwada berada? Sarwastiwada ada di dalam Mahayana, menjadi agama Buddha awal dari Mahayana. Jadi kalau begitu, kehadiran Therawada di Indonesia pada masa kini mestinya tidak akan mengganggu upaya menghadirkan kembali Agama Buddha Indonesia. Iya, asalkan yang dikembangkan adalah bagian agama Buddha inti yang universal, dan bukan bentuk-bentuk luarnya yang sudah bercampur budaya negara lain.

Jika seseorang memahami agama Buddha inti dan memiliki belas kasih pada sesama, maka ia akan bisa memahami upaya kausalya yang dilakukan oleh aliran Buddhis lainnya. Artinya, kita tidak boleh pesimis, bahwa mereka yang belajar Therawada pasti menutup diri atau tidak akan mampu memahami Jalan Menuju Kebuddhaan yang ada di Borobudur. Sudah terbukti, banyak para biksu terpelajar yang mampu berlanjut dari Therawada ke Mahayana. Mereka mampu memahami Panca Tathagata dan Adi Buddha.