Menjaga jati-diri gerakan Buddhayana di Indonesia


Kasus sempat dapat berdiamnya upasaka berjubah bhikkhu di cetya yang bernaung di organisasi Buddhayana, perlu menjadi pelajaran bagi yang lain.

Keterbukaan cetya tersebut terhadap monastik tetangga bisa jadi karena sebelumnya cetya itu independen. Jadi tampaknya masih terbiasa sangat terbuka.

Namun kita juga dapat menemukan wihara-wihara Buddhayana yang pengurusnya juga sangat terbuka terhadap Dharmaduta tetangga. Alasannya butuh pembinaan. Sesungguhnya ini lebih masalah kesetiaan. Kesetiaan muncul manakala memahami nilai-nilai yang diemban organisasi Buddhayana, yang jelas tidak sama dengan nilai-nilai tetangga. 

Membiarkan ketidaksetiaan akan membuat wihara-wihara Buddhayana kehilangan jati-diri. Selanjutnya gerakan Buddhayana juga akan kehilangan jati-diri jika pengurusnya berasal dari wihara-wihara yang jati-dirinya telah berbeda.

Jika kita meyakini semangat Buddhayana itu adalah yang paling buddhistik, maka jati-diri gerakan Buddhayana di Indonesia perlu diperkuat. Kadang kita lupa bahwa setiap saat ada generasi baru yang perlu menerima pembekalan wawasan Buddhayana. Dan wawasan itu tentu harus disampaikan oleh orang-orang yang tidak memiliki keraguan sedikit pun bahwa inilah yang paling buddhistik.