Menjaga Relawan


Wihara-wihara di Indonesia umumnya berkarya melalui relawan. Ada wihara-wihara yang telah diperkuat oleh karyawan, tetapi peran relawan tetap yang lebih utama. 

Para monastik juga dapat dikatakan relawan, oleh karena tugas utamanya sesungguhnya melatih diri.

Amat terbatasnya jumlah monastik, membuat wihara-wihara di Indonesia memiliki pandita-relawan (dan sedikit pandita-karyawan) sebagai pengganti monastik. Dalam naungan yayasan dan di bawah kepemimpinan monastik atau pandita, banyak umat kemudian membantu penyelenggaraan kegiatan wihara dengan menjadi pengurus-relawan dan aktivis-relawan selain yang tentunya sesekali-relawan.

Motivasi para relawan tentu berbeda-beda satu dengan yang lain, tetapi dapat dikatakan semangat untuk melayani Triratna adalah motivasi yang termulia. Oleh karena itu keteladanan dalam semangat melayani dari pihak pimpinan menjadi faktor penting dalam menjaga relawan.

Pada masa sekarang semangat melayani telah hadir dalam suasana yang tepat yaitu suasana kesetaraan. Adanya koordinasi melalui WAG misalnya, telah banyak menggerus hierarki. Dalam berbagi tugas, pendekatan atasan-bawahan yang didasari kekerasan dalam pengawasan telah digantikan dengan kesetaraan dalam pelayanan. 

Menjaga relawan memang seharusnya bukan dengan idealis menegakkan peraturan, tetapi dengan pragmatis menegakkan kebersamaan. Pemimpin bukanlah penguasa relawan tetapi sekadar pengarah relawan.

Akhirnya, bagi mereka yang sistem kepemimpinannya masih terbiasa dengan cara keras, silakan menghimpun karyawan dan bukan relawan.