Bisa jadi ada yang terkejut dengan judul di atas, dan tidak setuju. Namun itu merupakan kebenaran yang harus diterima. Kesadaran bahwa yayasan itu levelnya nasional baru muncul di benak ketika seorang ketua MBI Provinsi X diangkat oleh pengurus Yayasan Y untuk menjadi pengurus rumah tangga Wihara Z. Padahal kejadian sejenis sebenarnya sudah banyak terjadi.
Undang-undang Yayasan menyatakan bahwa yayasan dapat memiliki perwakilan/cabang di seluruh Indonesia. Pusat yayasan tidak mesti di ibukota negara, bisa di kota lain. Jadi jika pusatnya di Bandung, yayasan tersebut malah dapat memiliki cabang di Jakarta. Namun bagaimana pun yayasan itu memang skalanya nasional. Sejumlah yayasan buddhis memiliki beberapa wihara yang tersebar di beberapa provinsi.
Berbicara wihara berarti berbicara skala lokal. Oleh karena itu yayasan sering ikut terbawa, seolah-olah yayasan itu juga skalanya lokal. Namun yang sesungguhnya terkait erat dengan wihara justru sanggha. Wihara adalah tempat sanggha. Sekarang karena wihara telah berubah menjadi rumah ibadah agama Buddha, maka tempat sanggha berdiam, belajar, berlatih, dan berbagi di antara sesama anggota sanggha malah kadang disebut biara, untuk membedakan. Padahal wihara pada mulanya ya biara. Kata biara dalam bahasa Indonesia berasal dari wihara.
Di wihara, para anggota sanggha berlatih bersama. Di luar negeri, satu wihara bisa 200 anggota sanggha-nya. Seperti pesantren. Padahal pesantren yang dulu meniru sistem sanggha. Jadi sanggha memang berskala lokal, bukan nasional. Kalau sanggha agung atau maha sanggha memang skalanya nasional, karena merupakan himpunan dari sanggha-sanggha. Ini perkembangan belakangan. Di zaman Buddha, setiap sanggha atau wihara dibiarkan berjalan sendiri-sendiri. Bahkan Buddha tidak menjadikan diri-Nya sebagai pimpinan pusat. Beliau hanya guru penunjuk jalan.