Dari Relawan ke Karyawan

Dalam wadah keagamaan, pengabdian relawan memang belum tentu kalah dari karyawan. Relawan itu justru tidak itung-itungan dalam mengabdikan diri. Masalahnya, relawan belum tentu bisa selalu standby di tempat. Oleh karena itu tetap perlu ada karyawan.

Yayasan-yayasan Buddhis saat ini terhitung masih sedikit menggunakan karyawan. Kebanyakan pengurus yayasan tidak bekerja purna-waktu, maka mereka tidak menerima gaji. Merekalah yang menggaji karyawan, yaitu tenaga administrasi dan tenaga kebersihan. 

Para monastik adalah juga relawan. Tugas utamanya adalah melatih diri. Jika latih dirinya sudah lumayan, barulah latih diri di tengah masyarakat. Berbagi Dharma yang telah dipahami dari hasil latih diri. Juga menjadi ladang kebajikan yang punya kekuatan dalam melimpahkan jasa.

Pandita umumnya adalah relawan, yang telah rela membagi waktunya selain untuk keluarga-darah juga untuk keluarga-spiritual. Para pensiunan cocok menjadi pandita, karena dari sisi usia juga lebih meyakinkan. Masalahnya, harus bisa jadi teladan dan panutan hidup di dalam Dharma.

Sebenarnya jika para pandita paruh-waktu bisa jadi pandita purna-waktu, banyak hal yang lebih bisa ditangani. Sehingga agama Buddha akan lebih maju. Pandita yang lebih bebas bergerak daripada monastik, bisa sepenuhnya menjadi tangan kanan monastik dalam mengurus wihara.

Pandita dapat menjadi pengurus yayasan purna-waktu dan digaji. Siapa yang gaji? Pandita adalah pembantu Sanggha monastik, jadi yang menggaji tentu yayasannya Sanggha monastik. Biarlah umat tetap sukacita mempersembahkan dana ke Sanggha monastik, termasuk untuk mendukung pembiayaan dan pemberdayaan pandita.