Nama kebiksuan beliau termasuk panjang. Tak heran jika ketika disingkat, orang jadi menyebutnya Bhante Suryabhumi. Saya pribadi selalu ingat untuk menulis nama beliau dengan Dharmasurya Bhumi.
Guru beliau, Bhante Agga Jinametto juga lebih sering disebut Bhante Agga Jinamitto. Ya mitta dan metta memang dekat. Dan tidak semua tahu jika nama samanera Bhante Agga Jinametto adalah Jinasurya Bhumi.
Mengenang Bhante Dharmasurya Bhumi bagi saya tentu tidak bisa dilepaskan dari Wihara Vimaladharma. Di wihara ini 38 tahun yang lalu saya pernah menjadi samanera sementara. Tentu untuk berlatih meditasi jalan pembebasan di bawah asuhan Bhante Dharmasurya Bhumi.
Saya ingat saat itu masih terhitung awal tahun, dan saat malam Tahun Baru Imlek kami berdua begadang. Bhante mengajak saya menjaga lilin-lilin di bhaktisala. Kini saya baru sadar, semestinya saya meminta beliau beristirahat dan hanya saya yang menjalankan tugas tersebut.
Di masa saya tinggal di Wihara Vimaladharma itu pula terjadi kejadian seorang pemuda, entah dari mana, mencoba merusak rupaka Buddha yang saat itu ada dalam kaca. Tentu saja kacanya pecah. Tak lama ibu pemuda itu datang, karena anaknya menjadi kacau, dan Bhante dengan penuh kasih membawakan air untuk diminum oleh si pemuda tersebut agar waras kembali.
Saya bisa kembali agak lama bersama-sama dengan Bhante ketika dua tahun yang lalu beliau tinggal di Wihara Ekayana Serpong. Kami berdua saat itu menemukan kesamaan dalam diet makanan. Bhante tampak gembira, karena makanannya selalu aman.
Jika dulu sewaktu di Wihara Vimaladharma Bandung, saya mengetahui dari Bhante sendiri bahwa beliau memilih untuk menjadi Pacceka-Buddha, di Wihara Ekayana Serpong itu saya malah melihat beliau adalah Bodhisattwa. Itulah kenangan akhir di hati saya. Mengamalkan Dharma tak bernoda (vimaladharma) adalah jalan satu-satunya (ekayana).